I. PENDAHULUAN
Kebijakan
moneter sebagai salah satu bagian dari kebijakan ekonomi makro pada dasarnya
merupakan kebijakan pengendalian jumlah uang beredar agar sesuai dengan jumlah
yang dibutuhkan dalam suatu sistem perekonomian. Melalui pengendalian jumlah
uang beredar tersebut diharapkan dapat dicapai suatu tingkat pertumbuhan
ekonomi tanpa menyebabkan terjadinya inflasi akibat bertambahnya jumlah uang
yang beredar yang mendorong permintaan barang-barang atau disebut demand pull inflation.
Sasaran kebijakan moneter yang ingin
dicapai oleh otoritas moneter di Indonesia pada prinsipnya adalah pertumbuhan
ekonomi, stabilitas harga dan tingkat bunga, dan keseimbangan neraca pembayaran
serta untuk mencapai pemenuhan kesempatan kerja. Perencanaan moneter tersebut
dibuat Bank Indonesia dalam bentuk program moneter yang pada dasarnya merupakan
perencanaan jumlah uang yang akan beredar pada periode tertentu atas dasar
asumsi-asumsi tertentu. Program moneter tersebut memberikan kerangka dasar
mengenai rencana yang perlu dicapai oleh Bank Indonesia dalam pelaksanaan tugas
pengendalian moneternya. Selanjutnya berdasarkan program moneter tersebut
dilakukan pemantauan secara terus menerus terhadap perkembangan besar-besaran
moneter yang dijadikan target. Bank Indonesia secara rutin mengeluarkan
Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia baik secara mingguan maupun bulanan
disamping Laporan Tahunan Bank Indonesia. Laporan statistik tersebut memberikan
informasi mengenai posisi antara lain sebagai berikut:
A. Neraca otoritas moneter
B. Jumlah uang beredar
C. Neraca gabungan perbankan
D. Posisi likuidasi perbankan
E. Kegiatan mobilisasi dana masyarakat
F. Posisi kredit perbankan
G. Suku bunga
H. Pasar uang dan modal
I. Keuangan pemerintah
J. Neraca pembayaran
K. Produk domestik bruto
L. Jumlah penanaman modal dalam dan luar negeri
M. Indeks harga
N. Indikator ekonomi dan moneter internasional
Selanjutnya
dari kegiatan pemantauan dapat diketahui apaka
target besar-besaran moneter tersebut dapat dicapai, kurang dari yang
ditargetkan atau bahkan telah melampaui.
II.
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN KEBIJAKAN
MONETER
Kebijakan
moneter adalah upaya untuk mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi
secara berkelanjutan dengan tetap mempertahankan kestabilan harga. Untuk
mencapai tujuan tersebut Bank Sentral atau Otoritas Moneter berusaha mengatur
keseimbangan antara persediaan uang dengan persediaan barang agar inflasi dapat
terkendali, tercapai kesempatan kerja penuh dan kelancaran dalam
pasokan/distribusi barang. Kebijakan moneter dilakukan antara lain dengan salah
satu namun tidak terbatas pada instrument sebagai berikut yaitu suku bunga,
giro wajib minimum, intervensi dipasar valuta asing dan sebagai tempat terakhir
bagi bank-bank untuk meminjam uang apabila mengalami kesulitan likuiditas.
B. TUJUAN KEBIJAKAN MONETER
Bank
Indonesia memiliki tujuan untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai
Rupiah. Tujuan ini sebagaimana tercantum dalam UU No.3 Tahun 2004 Pasal 7
tentang Bank Indonesia. Hal yang dimaksud dengan kestabilan nilai rupiah antara
lain adalah kestabilan terhadap harga-harga barang dan jasa yang tercermin pada
inflasi. Untuk mencapai tujuan tersebut, sejak tahun 2005 Bank Indonesia
menerapkan kerangka kebijakan moneter dengan inflasi sebagai sasaran utama
kebijakan moneter (Inflation Trgeting Famework) dengan menganut sistem nilai
tukar yang mengambang (free floating). Peran kestabilan nilai tukar sangat
penting dalam mencapai stabilitas harga dan sistem keuangan.
Dalam
pelaksanaannya, Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk melakukan kebijakan
moneter melaluipenetapan sasaran-sasaran moneter (seperti uang beredar atau
suku bunga) dengan tujuan utama menjaga sasaran laju inflasi yang ditetaptkan
oleh pemerintah.
C. KEBIJAKAN
MONETER DAN PERBANKAN
Perkembangan
moneter dan perbankan di Indonesia sejak orde baru pada dasarnya dapat
digolongkan dalam 3 periode, yaitu:
1. Periode
stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi.
Kebijakan moneter dan perbankan pada periode
stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi di awal orde baru pada dasarnya untuk
mengatasi kondisi ekonomi yang sangat memprihatinkan saat itu. meskipun tidak
ada angka inflasi yang pasti dan disepakati namun berbagai pengamat
memperkirakan tingkat inflasi berkisar 650% pertahun, suatu angka yang fantastis
dibandingkan dengan kondisi perekonomian negara-negara tetangga saat itu. Untuk
menghambat laju inflasi tersebut pemerintah mengupayakan pengendalian tingkat
inflasi kebatas yang lebih aman, meningkatkan ekspor, dan mencukupkan sandang
bagi masyarakat. Dalam rangka mengendalikan inflasi diambil dua kebijakan
pokok. Pertama mengubah kebijakan anggaran defisit menjadi anggaran berimbang.
Kedua, menjalankan kebijakan kredit yang sangat ketat dan kualitatif. Pada
periode ini pula pemerintah, sebagai bagian dari penataan kembali ekonomi,
dilakukan pula penataan sistem perbankan dengan mengeluarkan Undang-undang No.
14 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Perbankan dan Undang-undang No. 13 Tahun 1968
tentang Bank Indonesia.
2. Periode saat
ekonomi ditunjang sektor minyak.
Kebijakan pemerintah dalam upaya
mobilisasi dana masyarakat sebagai sumber pembiayaan pembangunan disertai
dengan penyediaan Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) yang berbunga rendah
memperbesar kemampuan perbankan dalam penyaluran kredit. Penyediaan KLBI dalam
jumlah besar akibat besarnya penerimaan negara dari hasil ekspor minyak pada
pertengahan dekade 1970-an yang dikenal dengan istilah “boom minyak”, mendorong
tingginya kembali tingkat inflasi. Kebijakan moneter yang ditempuh pada periode
boom minyak ini antara lain:
A.
Menetapkan pagu
kredit (credit ceiling) dan aktiva
lainnya.
B.
Menaikkan bunga
kredit.
C.
Menaikkan bunga
deposito.
D.
Menaikkan
ketentuan cadangan likuiditas wajib.
3. Periode
deregulasi perbankan.
Memasuki dekade 1980-an ekonomi Indonesia
mengalami resesi sebagai da,pak dari resesi dunia. Produk domestik bruto turun
drastis menjadi hanya 2,2% dibandingkan rata-rata 7,7% pada tahun-tahun
sebelumnya, bahkan pernah mencapai 9,9% pada tahun 1980. Sementara itu, neraca
pembayaran terus meburuk dan bahkan terjadi defisit sebesar USD 1,930 juta pada
tahun 1982. Untuk mengatasi kondisi ekonomi yang semakin memburuk tersebut,
pemerintah melakukan perubahan kebijakan di bidang ekonomi termasuk moneter dan
perbankan. Kebijakan-kebijakan yang ditempuh pemerintah pada saat itu antara
lain:
A.
Penyesuaian
nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat pada bulan Maret 1983 dari
Rp 700 menjadi Rp 970.
B.
Penjadwalan
ulang proyek-proyek yang menggunakan devisa dalam jumlah besar.
C.
Melakukan
deregulasi sektor moneter dan perbankan dengan berbagai jenis paket kebijakan.
D. JENIS-JEINS KEBIJAKAN MONETER
Pengaturan jumlah uang beredar pada masyarakat
diatur dengan cara menambah atau mengurangi jumlah uang yang beredar. Kebijakan
moneter dapat dibedakan menjadi dua :
1. Kebijakan Moneter Ekspansif (Monetary expansive
policy)
Adalah
suatu kebijakan dalam rangka mmenambah jumlah uang yang beredar. Kebijakan ini
dilakukan untuk mengatasi pengangguran dan meningkatkan daya beli masyarakat
(permintaan masyarakat) pada saat perekonomian mengalami resesi atau depresi.
Kebijakan ini disebut juga kebijakan moneter longgar (easy money policy).
2. Kebijakan Moneter Kontraktif (Monetary
contractive policy)
Adalah
suatu kebijakan dalam rangka mengurangi jumlah uang beredar. Kebijakan ini
dilakukan pada saat perekonomian mengalami inflasi. Disebut juga dengan
kebijakan ketat (tight money policy).
E. INSTRUMENT
KEBIJAKAN MONETER
Sebelum terjadinya krisis ekonomi yang diawali dari
krisis rupiah yang terjadi pada pertengahan 1997 kemudian diikuti dengan krisis
moneter dan segera menjadi krisis ekonomi sejak akhir 1997, perekonomian
Indonesia dalam beberapa tahun terakhir apabila diamati terlihat semakin
meningkatnya kepercayaan terhadap kestabilan ekonomi makro. Indikasi tersebut
dapat tercermin dari semakin terintegrasinya perekonomian Indonesia dengan
perekonomian dunia yang dibarengi dengan semakin meningkatnya aliran masuk
modal asing.
Kegiatan ekonomi Indonesia dalam
tahun 1996 juga masih cukup kuat. Masih kuatnya kegiatan ekonomi domestik ini
juga akan mendorong tetap tingginya permintaan masyarakat terhadap likuiditas.
Keadaan ini apabila tidak dikendalikan secara hati-hati akan menghasilkan
pertumbuhan besar-besaran moneter yang tetap tinggi yang apabila dibiarkan akan
menyebabkan tekanan-tekanan pada harga dan neraca pembayaran.
Dalam kondisi ekonomi yang semakin
kompleks pengendalian moneter tidak cukup dilakukan hanya dengan satu atau dua
instrumen saja. Berbagai instrumen kebijakan moneter yang digunakan Bank
Indonesia untuk mempengaruhi besar-besaran moneter antara lain sebagai berikut:
1. Operasi pasar
terbuka.
Ini dilakukan
melalui penjualan dan pembelian surat berharga SBI dan SBPU. Untuk lebih
mengefektifkan operasi pasar terbuka ini, Bank Indonesia telah mengembangkan
kedua instrumen tersebut dengan menambahkan fasilitas repurchase agreement (repo) ke masing-masing instrumen sehingga
saat ini dikenal SBI repo dan SBPU repo.
2. Fasilitas
diskonto.
Fasilitas
diskonto ini disediakan bagi bank-bank dalam rangka memperlancar pengaturan
likuiditas sehari-hari, khususnya bank yang menghadapi maturity mismatch antara penanam dan pendananya. Fasilitas diskonto
dilakukan dengan cara penjualan surat berharga repo atau penjaminan surat
berharga. Surat berharga yang dewasa ini dapat dipergunakan adalah SBI dan atau
SBPU yang diendos oleh bank lain.
3. Ratio Cadangan
Wajib.
Ratio cadangan
wajib adalah mengatur jumlah uang yang beredar dengan menaikkan jumlah dana
cadangan perbankan yang harus disimpan pada pemerintah, untuk menambah jumlah
uang beredar. Pemerintah menurunkan rasio cadangan wajib, untuk menurunkan
jumlah uang beredar pemerintah menaikkan rasio.
4. Persuasi
moral.
Kebijakan ini
dilakukan oleh Bank Indonesia dengan meminta atau mengimbau bank-bank untuk
selalu mempertimbangkan kondisi makro ekonomi maupun kondisi mikro
masing-masing bank dalam menyusun rencana ekspansi kredit yang realitas.
Kebijakan persuasi moral atau moral
suasion ini pada dasarnya dimaksudkan untuk mendorong perbankan agar
senantiasa menerapkan prinsip kehati-hatian dalam memberikan kredit, namun
dengan tetap memberikan kebebasan bagi perbankan untuk tumbuh dan berkembang
berdasarkan mekanisme pasar.
F. KONSEP UANG
BEREDAR DAN PENGENDALIANNYA
Pengertian uang
beredar yang umum digunakan di Indonesia dapat dibedakan dalam dua kategori
yaitu uang beredar dalam arti sempit atau disebut juga narrow money (M1) dan uang beredar dalam arti luas atau broad money (M2). M1
terdiri atas uang kartal yang beredar di masyarakat (tidak termasuk uang kartal
yang ada di bank) ditambah dengan uang giral. M2 merupakan
penjumlahan dari M1 ditambah tabungan dan deposito berjangka atau
disebut juga uang kuasi (quasi money).
Strategi
pengendalian uang beredar dirumuskan berdasarkan penyesuaian instrumen
kebijakan moneter antara lain operasi pasar terbuka, penyesuaian ketentuan
likuiditas wajib minimum (reserve
requirement), fasilitas diskonto. Di negara-negara industri, pengendalian
uang beredar dilakukan dengan menggunakan besaran moneter seperti jumlah uang
beredar atau tingkat bunga jangka panjang sebagai target antara (intermediate target).
Permasalahan
yang krusial atas penggunaan strategi pengendalian moneter antara lain adalah
memilih besaran moneter yang ada, target antara mana yang bisa digunakan dalam
pengendalian moneter dimasa yang akan datang dalam situasi yang penuh ketidak
pastian. Agregat atau besaran-besaran moneter yang mungkin dapat
dipertimbangkan untuk dipilih sebagai target antara dapat digolongkan dalam dua
kelompok yaitu:
A. Jumlah uang beredar, kredit perbankan, uang primer
(likuiditas wajib perbankan dan digolongkan sebagai M0), deposito
atau disebut monetary target, dsb
B. Penghasilan yang diperoleh dari agregat moneter
seperti tingkat uang pinjaman bank atau surat berharga pemerintah.
Sementara itu,
di Indonesia sejak digunakannya target antara dalam pengendalian moneter maka
variabel agregat moneter yang digunakan adalah jumlah uang beredar meliputi uang
primer (M0), M1 dan M2. Alasan kenapa jumlah
uang beredar lebih disukai dari suku bunga jangka panjang sebagai target atara
didasarkan pada alasan historis.
G. KEBIJAKAN
PENGENDALIAN UANG BEREDAR
Strategi
pengendalian moneter sebelum dan setelah era deregulasi (1983) pada prinsipnya
tidak bberbeda dengan cara pengendalian sebelum deregulasi dalam arti bahwa
kebijakan pengendalian moneter didasarkan pada penggunaan target moneter
sebagai target antara. Namun diantara kedua cara pengendalian tersebut terdapat
beberapa perbedaan dalam pelaksanaannya meliputi antara lain:
1. Target
moneter.
Dalam kurun
waktu sebelum deregulasi 1983, target utama yang digunakan adalah broad money yaitu jumlah uang beredar
dalam arti luas (M2). Sementara setelah deregulasi, target antara
yang digunakan tidak hanya M2 tapi juga narrow money yaitu uang beredar dalam arti sempit (M1).
2. Target
operasional.
yaitu suatu
besaran yang memiliki hubungan dengan target antara. Sebelum deregulasi target
operasional yang digunakan adalah aktiva domestik netto perbankan atau sering
juga disebut total kredit perbankan. Sementara setelah deregulasi target
operasional yang digunakan adalah agregat cadangan atau tingkat bunga jangka
pendek.
3. Pencapaian
target operasional.
Sebelum
deregulasi pengendalian moneter dilakukan secara langsung di mana target
operasional ditentukan secara administratif. Instrumen kebijakan moneter yang
digunakan meliputi pagu atau ceiling
kredit, pagu tingkat buga, alokasi kredit terutama pada sektor-sektor yang
berprioritas tinggi.
H. PENGATURAN BANK
DENGAN PRINSIP KEHATI-HATIAN (PRUDENT
BANKING)
Struktur pasar
keuangan (financial markets) yang
sehat ditunjang oleh pelaku pasar yang sehat pula akan membantu berbagai
langkah stabilitas ekonomi mencapai sasarannya. Oleh karena itu dibutuhkan
pelaku pasar keuangan yang mampu menangkap sinyal-sinyak indikatif yang
diisyaratkan otoritas perusahaan. Sejalan dengan itu Bank Indonesia harus terus
berupaya meningkatkan profesionalisme pelaku dalam sektor perbankan agar dapat
menciptakan bankir yang tangguh dan profesional. Melihat jumlah kantor bank
yang semakin bertambah, Bank Indonesia jelas memiliki keterbatasan dalam
melakukan pengawasan. Untuk itu Bank Indonesia mengembangkan pola pembinaan dan
pengawasan yang mengarah pada industri perbankan yang mampu mengatur sendiri
dalam menerapkan pelaksanaan prinsip kehati-hatian.
I. PENILAIAN
AKTIVA PRODUKTIF
Aktiva
produktif atau earning assets
perbankan yang dilakukan penilaian adalah mengenai kualitasnya yang meliputi
penanaman dana, baik dalam rupiah maupun dalam valuta asing, dalam bentuk
kredit dan surat berharga. Dalam rangka melakukan monitoring terhadap kinerja
kegiatan bank terutama disisi aktivanya, berdasarkan Surat Keputusan Direksi
Bank Indonesia No. 30/267/KEP/DIR tanggal 27 Februari 1998 menetapkan suatu
ketentuan yang berkaitan dengan penilaian terhadap penanaman dana bank dalam
bentuk aktiva produktif.
J.LIKUIDASI
BANK
Likuidasi
adalah tindakan pemberesan berupa penyelesaian seluruh hak dan kewajiban bank
sebagai akibat pembubaran badan hukum bank. Likuidasi bank dilakukan dengan
cara pencairan harta dan atau penagihan piutang kepada para debitur, diikuti
dengan pembayaran kewajiban bank kepada para kreditur dan hasil pencairan dan
atau penagihan tersebut.
Ketentuan
likuidasi bank diatur dalam Pasal 37 UU No. 10 Tahun 1998. Menurut ketentuan
bahwa dalam hal suatu bank mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan
usahanya, dan atau membahayakan sistem perbankan, Bank Indonesia dapat
melakukan beberapa tindakan yang dipandang perlu.
Suatu bank
dikatakan mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya apabila
berdasarkan penilaian Bank Indonesia, kondisi usaha bank semakin memburuk,
antara lain ditandai dengan menurunnya permodalan, kualitas aset, likuiditas,
dan rentabilitas serta pengelolaan bank yang tidak dilakukan berdasarkan
prinsip kehati-hatian dan prinsip-prinsip perbankan yang sehat. Sedangkan bank
yang diperkirakan membahayakan sistem perbankan adalah apabila tingkat
kesulitan yang dialami dalam melakukan kegiatan usaha bank tidak mampu memenuhi
kewajiban-kewajibannya kepada bank lain, sehingga pada gilirannya akan
menimbulkan dampak berantai kepada bank-bank lain.
K. KEBIJAKAN
PEMULIHAN PERBANKAN
Dengan terus
menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap perbankan dan kian meningkatnya
penarikan dana masyarakat dari perbankan disamping bertambahnya jumlah non performing assets terutama
portofolio kredit bank (non performing
loan), semakin memperburuk kondisi perbankan. Jumlah bank yang mengalami
kesulitan semakin bertambah yang berakhir dengan pengambilalihan atau bank take over (BTO), pembekuan kegiatan
operasional (BBO) atau bank beku kegiatan usaha (BBKU).
Menyadari bahwa
krisis yang terjadi telah semakin memburuk, pemerintah mempercepat dan
memperluas cakupan program stabilisasi reformasi ekonomi dengan melakukan
penandatanganan memorandum kesepakatan (letter
of intent) dengan IMF pada tanggal 15 Januari 1998. Khusus untuk moneter,
pemerintah mengarahkan kebijakan pada upaya untuk mengembalikan kepercayaan
masyarakat kepada perbankan.
L. PROGRAM
PENJAMINAN TERHADAP KEWAJIBAN PERBANKAN
Dalam ragka
usaha pemulihan kepercayaan para deposan dan kreditur baik dalam negeri maupun
luar negeri terhadap sistem perbankan Indonesia dan dalam rangka membangun
kembali sistem perbankan yang sehat sebagaimana telah disebutkan sebelumnya,
pemerintah menetapkan untuk melaksanakan program yang komprehensif pemulihan
sistem perbankan. Program ini meliputi dua unsur utama, yaitu. Pertama,
penyediaan jaminan penuh oleh pemerintah kepada seluruh nasabah deposan dan
kreditur bank umum nasional. Kedua, pemerintah membentuk Badan Penyehatan
Nasional. Program penjaminan ini pada dasarnya adalah pemerintah menjamin
seluruh dana masyarakat deposan dan kreditur bank yang berbadan hukum Indonesia
dijamin pengembaliannya oleh pemerintah. Jaminan berlaku atas kewajiban baik
dalam rupiah maupun dalam valuta asing. Pengecualian terhadap jaminan tersebut
berlaku sama untuk bank swasta maupun bank pemerintah. Jaminan tersebut berlaku
pula untuk bank-bank yang sedang dalam proses restrukturisasi (merger,
akuisisi, konsolidasi dan sebagainya).
M. PEMBENTUKAN
BADAN PENYEHATAN PERBANKAN NASIONAL (BPPN)
Dalam rangka
mengatasi dampak yang ditimbulkan oleh gejolak moneter dan untuk meningkatkan
kepercayaan masyarakat khususnya terhadap sistem perbankan nasional, pemerintah
telah memberikan jaminan terhadap kewajiban pembayaran bank umum kepada seluruh
deposan dan kreditur sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Presiden Nomor 26
Tahun 1998. Sebagai pelaksanaan jaminan pemerintah terhadap kewajiban bank
tersebut di atas, maka dalam rangka pengawasan, pembinaan dan upaya penyehatan
bank, dibentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) pada tanggal 27
Januari 1998 dengan Keputusan Presiden Nomor 27 Tahun 1998 yang kemudian
dikukuhkan dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang perbankan. Sebagai tindak lanjut dari
pendirian BPPN, pihak BPPN dan Bank Indonesia sebagai pengawas bank telah
bekerjasama menetapkan suatu kebijakan strategis yang komprehensif dalam
penyehatan bank. Penjabaran kebijakan tersebut dilakukan sejalan dengan jaminan
yang telah diberikan pemerintah atas keamanan dana para deposan dan kreditur
bank.